Hari minggu tanggal 15 Januari 2012. Sehari sebelum minggu tenang, atas perintah dosen mata kuliah “Sejarah dan Kebudayaan Masyarakat Indonesia” kita semua (saya dan semua teman kelas saya) disuruh untuk pergi ke tempat yang bernama Gunung Padang. Tempatnya terletak disekitar sebelah selatan kabupaten Bandung. Kami berangkat dari kampus kurang lebih pukul 8 pagi, karena masih ada beberapa dari teman kami yang datang sedikit terlambat. Di perjalanan menuju kesana, saya menyadari bahwa orang lain membawa bekal makanan yang sangat banyak sedangkan saya hanya membekal sebotol air putih dari rumah, saya kira perjalanannya tidak terlalu jauh karena mengingat masih di wilayah Bandung juga. Ternyata perjalanan cukup jauh, tetapi untungnya teman saya yang baik hati mau memberi sebagian dari bekal makanannya kepada saya. Pada saat kita sudah memasuki sebuah desa yang cukup terpencil, saya melihat papan sebelah kanan yang bertuliskan “Makam Prabu Siliwangi”, dalam hati saya bertanya-tanya apakah benar disana ada makam dari raja kerajaan terbesar Sunda yaitu Sri Baduga atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sesampainya di tempat tujuan kira-kira pukul 10, kami semua dipersilahkan masuk oleh seorang Ibu kedalam rumah yang ternyata adalah rumah dari kuncen Gunung Padang. Disana kami disuguhi dengan makanan dan minuman desa khas orang Sunda yaitu singkong, gendar, dan teh pahit yang hangat. Lumayan untuk mengisi perut sebelum kami semua mendaki gunung.
Salah satu dari kebun yang kami liat pada saat perjalanan mendaki Gunung Padang, kebun sawi nih... |
Setelah kami semua selesai menyantap suguhan yang dihidangkan oleh tuan rumah, kami bersiap-siap untuk berangkat mendaki Gunung Padang. Dosen berkata kepada kami bahwa waktu perjalanan yang mungkin akan kita tempuh adalah 1 jam setengah, kami pun mulai melakukan perjalanan kami sekitar pukul setengah 11. Mula-mula jalan yang kami lewati pertama masih berupa aspal, kemudian semakin jauh kami meninggalkan pemukiman semakin berbeda pula jalan yang kami lewati. Lalu jalan kedua yang kami lewati adalah berupa tanah merah basah yang artinya jalan tersebut sangat licin apabila kita lewati, tak jarang beberapa teman saya mengalami keram kaki, bengek, dan jatuh ditengah perjalanan ini. Setelah jalan tanah merah basah, jalan berikutnya yang kami lalui adalah jalan batu-batuan. Ini artinya kami semua sudah berada di kaki gunung, udaranya disana pada saat itu cukup dingin karena mengingat terjadinya kabut juga pada waktu itu. Ditengah perjalanan kami melihat beberapa perkebunan sayur-sayuran seperti sawi, kembang kol, dan tomat milik warga disana.
Kebun lainnya yang kami liat pada saat perjalanan, kalo gak salah kebun bokchoy sama tomat deh ini tuh... |
Sebelum kami sampai di tempat dimana ada air dari gunung yang mengalir, kami diperlihatkan oleh kuncen situs pertama yaitu sebuah batu besar yang terlihat sudah terbelah menjadi dua. Konon katanya, batu tersebut dibelah oleh Prabu Siliwangi. Percaya atau tidak terserah anda.
Batu besar yang terbelah dua, konon katanya batu tersebut dibelah oleh Prabu Siliwangi. |
Tak terasa sekitar sejam sudah kami mendaki, kemudian kami berhenti sejenak disebuah tempat dimana ada air dari gunung yang mengalir. Kata kuncen air tidak apa-apa untuk diminum, kebetulan kami semua sudah kehabisan bekal air minum di perjalanan, lalu kami semua mengambil air yang mengalir tersebut. Kemudian setelah kami semua selesai mengambil air tersebut, kami meneruskan pendakian kami yang sudah mulai terasa sangat curam keatas gunung. Kami semua berlima-lima berpegangan tangan untuk mendaki, karena kami takut sesuatu akan terjadi kepada salah satu dari teman kami apabila kita tidak berpegangan tangan sewaktu mendaki bukit tersebut. Akhirnya, setelah beberapa menit mendaki bukit tersebut kami sampai ke tujuan kami yaitu Gunung Padang. Tapi kami belum sampai ke puncak dari Gunung Padang itu sendiri, tapi di tempat ini ada beberapa situs-situs penting yang akan dijelaskan satu persatu oleh kuncen.
Situs kedua dari Gunung Padang, sebuah tumpukan batu besar yang menggambarkan keluarnya bayi dari rahim Ibu. |
Situs kedua yaitu suatu tumpukan batu besar yang menggambarkan bagaimana keluarnya bayi dari seorang rahim Ibu, bapa dosen berkata bahwa apabila kita belum mencoba untuk melewati sebuah lubang yang berada ditengah-tengah tumpukan batu tersebut maka kita belum pernah ke Gunung Padang. Saya pun ingin mencoba untuk melewati lubang tersebut dengan cara merangkak setelah bapa dosen melakukannya pertama, tetapi bapa kuncen memperingati sebelum kita memasuki lubang tersebut kita harus meminta ampun terlebih dahulu kepada orang tua kita, apabila tidak kita bisa tersangkut di lubang tersebut dan tidak bisa keluar. Setelah saya berdoa untuk meminta ampun kepada orang tua saya, saya mencoba memasuki lubang tersebut dan kemudian…Alhamdulillah saya berhasil melewatinya.
Foto dari atas, situs ketiga Gunung Padang. |
Situs ketiga yaitu kurang lebih sama, sebuah tumpukan batu tetapi lebih besar dari yang pertama dan cenderung mengarah keatas gunung. Kuncen berkata siapapun yang akan melewati tumpukan batu ini lewat celah yang sempit tekadnya harus benar-benar bulat, tidak boleh setengah-setengah karena disini kuncen menegaskan kembali bahwa ini semua bukanlah main-main. Saya pun ingin mencoba juga untuk melewati celah tersebut, tetapi kemudian badan saya tersangkut, saya pun kembali mundur dan turun. Memang benar yang dikatakan bapa kuncen itu, pada saat saya pertama mencoba menaiki dan melewati celah tersebut saya berpikir “apakah saya akan muat melewati celah tersebut” yang berarti tekad saya belum bulat dan masih setengah-setengah. Kemudian bapa kuncen pun menyeruh saya untuk duduk dan berdoa meminta ampun kepada orang tua dan Allah SWT, serta memegang tetesan air yang keluar dari sebuah batu. Kemudian ketika saya ingin mencoba lagi, bapa kuncen berkata “sudah nanti lain kali saja lagi”, lalu saya berkata kepada bapa kuncen itu bahwa dalam hidup saya, saya sering mendapatkan kegagalan, maka dari itu saya tidak mau menerima lebih banyak kegagalan lagi dalam hidup saya. Bapa kuncen pun mengizinkan saya untuk mencoba lagi menaiki batu tersebut dan mencoba melewati celah itu, entah karena saya berada pada posisi nya yang sudah benar atau apa, Alhamdulillah saya berhasil melewati celah kecil tersebut. Dalam hati, jujur saya sangat senang sekali bisa melewati celah kecil tersebut yang berarti saya tidak mengalami kegagalan.
Kuncen juga berkata bahwa orang tua jaman dahulu sering bertapa disini, untuk menenangkan diri sambil mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ucapan bapa kuncen itu ternyata benar, karena kakek saya berkata bahwa ia juga pernah ke Gunung Padang untuk bertapa. Jadi, pengertian kata “padang” disini berbeda dari kota padang yang berada di sumatera barat, kata “padang” disini berarti “caang padang” yang dalam bahasa Sunda berarti “caang hate” atau dalam bahasa Indonesia berarti “terang hati”, begitu kata pa kuncen. Orang-orang jaman dahulu datang ke tempat ini untuk mencari keterangan dan ketenangan hati dengan cara bertapa dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Setelah mendapatkan penjelasan, melihat dan mencoba semua situs tersebut, kami bergerak menuju puncak dari Gunung Padang ini.
Foto dari bawah, jalan menuju puncak Gunung Padang. |
Perjalanan dari tempat kami sebelumnya ke puncak tidak terlalu lama, tetapi jalannya memang jauh lebih curam dari sebelumnya. Belum lagi jalannya yang tersusun dari batu-batu alam berlumut yang licin apabila kita tidak berhati-hati pada saat menaikinya. Akhirnya kami semua pun sampai ke puncak yang tertinggi kedua menurut kuncen, kami ingin sekali meneruskan perjalanan ke puncak yang tertinggi kesatu tetapi kemudian hujan pun turun yang memaksa kami untuk turun sebelum hujannya lebih lebat lagi dan menganggu perjalanan kami pulang menuruni bukit. Sebelum itu, saya memanjat beberapa batu dan saya pun berhasil menaiki puncak tertinggi kedua dari Gunung Padang. Di puncak tertinggi kedua nya saja sudah cukup mengerikan, apalagi di puncak yang tertingginya. Dari atas sini, terlihat hutan-hutan yang mungkin kami tadi lewati, juga terlihat pemandangan betapa luasnya kabupaten Bandung yang berbatasan dengan kabupaten Garut dan Cianjur. Awan diatas pun terasa lebih dekat dari sini, sangat menyegarkan sekali udara dari atas sana, udara atas gunung yang belum terkotori oleh polusi-polusi dari kendaraan seperti di kota Bandung nya. Kemudian, bapa Kuncen juga memberitahu saya sebuah batu yang terdapat cetakan bulat yang katanya itu adalah cetakan kepala dari nenek moyang kita yang bertapa diatas sini, saya pun mencoba menyandarkan kepala saya dan mencoba posisi seperti orang yang sedang bertapa menghadap langit, dan rasanya pun sangat tenang, damai dan sejuk. Salah satu teman saya pun mencobanya, dan ternyata ia juga merasakan hal yang sama seperti saya.
Pemandangan dari atas puncak Gunung Padang. |
Pemandangan lainnya dari atas puncak Gunung Padang. |
Setelah kami selesai berfoto-foto dan menikmati keadaan disana, kami pun bergegas menuruni bukit sebelum hujan yang sudah datang sebelumnya lebih lebat lagi. Sesampainya kami di rumah kuncen, kami beristirahat sejenak dan langsung pulang kembali menuju kampus. Memanjat gunung sangat menyenangkan dan juga melelahkan, tapi saya merasakan sesuatu yang saya tidak pernah rasakan dan mendapatkan pengalaman yang berarti dari perjalanan itu. Sampai jumpa lagi, Gunung Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar