Saya
terus terang merasakan ngeri yang cukup luar biasa saat membaca tiga paragraf
dari cerpen ini, bukan karena apa-apa selain saya membayangkan apabila
peristiwa itu benar-benar terjadi. Penggambaran akan tragedy demi tragedy dalam
cerpen ini yang dibuat sedemikian detail yang membuat kita sebagai pembaca
dapat membayangkan hal-hal tersebut di benak kita masing-masing yang patut
diacungkan jempol. Plot yang ditampilkan dalam cerita pendek ini cenderung maju
dan mundur, kejadian yang berada di masa lampau dan sekarang saling melengkapi
satu sama lain di dalam cerpen ini sehingga menjelaskan betul bentuk
sebab-akibat di ceritanya.
Tetapi
dalam bagian percakapan, terdapat kalimat yang kurang jelas siapa yang
mengucapkan kalimat tersebut karena tidak ada kejelasan akan siapa yang
mengucapkan kalimat tersebut sehingga membuat kita harus benar-benar mengerti
jalannya percakapan tersebut. Tokoh-tokoh yang diperkenalkan dan dijelaskan oleh
penulis disini juga kurang mendapatkan perhatian yang cukup baik dalam latar
belakang maupun kepribadian tokoh tersebut yang bertujuan untuk membuat kita
dapat “mengenali” si tokoh tersebut dengan baik.
Untuk
pesan moral yang penulis berusaha untuk sampaikan jujur sangat dapat dicerna
dan diterima oleh pembaca dengan baik, pesan seperti kita harus dapat
mempertahankan “keimanan” kita kelak sampai kita tua, agar di masa tua kita
tidak tergelincir dan terjatuh kedalam jurang “kesesatan” serta terguling-guling
di dalamnya sampai kelak maut menjemput kita, karena bahwasanya “Kematian tidak
mengetuk pintu”, itu bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan dimana
saja. Maka dari itu, kita sebagai mahluk yang beragama sudah seharusnya terus
beribadah kepada Tuhan Yang Esa sampai tiba waktu untuk kita berpulang ke
pangkuan-Nya.
Bandung, 29
Oktober 2012, pukul 20:34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar